ORANG TUA TELADAN
Menjadi teladan adalah cita-cita luhur setiap insan. Tak terkecuali bagi orang tua kepada anak-anaknya. Orang tua adalah cerminan dari anak-anaknya. Olehnya itu figur orang tua teladan sangat dibutuhkan untuk anak keturunan yang lebih baik ke depannya.
Ustadz Ismail Yusanto dalam podcastnya menjelasakan secara detail tentang bagaimana menjadi figur orang tua teladan. Menurut beliau untuk menjadi teladan, orang tua wajib memiliki pandangan-pandangan dasar yang berkaitan dengan hal tersebut.
Pada dasarnya teladan anak kepada orang tua sesungguhnya bersifat natural. Karena anak lahir dan tumbuh berkembang bersama dengan orang tuanya. Sehingga biasanya apa yang ada dan seperti apa kondisi orang tuanya sekarang akan seperti itu jugalah anaknya.
Seorang politikus biasanya akan menjadikan anaknya juga sebagai seorang politikus, begitupula jika orang tuanya seorang lawyer biasanya anak juga akan mengikut jejaknya sebagai seorang lawyer pula, dst.
Tentu tidak semua orang tua ingin anaknya tumbuh secara natural seperti itu. Karena orang tua sebenarnya ingin agar anaknya tumbuh dan berkembang lebih baik dari dirinya sendiri. Olehnya itu orang tua harusnya memiliki pandangan-pandangan dasar untuk mewujudkan niat baik tesebut. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Pandangan Filosofis
Pandangan pertama adalah pandangan filosofis. Orang tua harus mendudukkan bagaimana cara memandang anak. Ada orang tua yang memandang anak itu sebagai aset. Aset yang dimaksud adalah anak tersebut harus mendatangkan benefit bagi dirinya. Benefit yang dimaksud adalah keuntungan yang bersifat meterial ataupun paling tidak benefit secara sosial.
Tentu bagi seorang Muslim tidak seperti itu. Orang tua harus memandang anaknya sebagai amanah. Yakni amanah yang dititipkan Allah SWT. Amanah yang akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat kelak. Karena anak itu lahir dari langkah dan perbuatan orang tuanya. Juga karena permohonan atau doa-doa dari orang tuanya. Sehingga begitu anak lahir menjadi kewajiban bagi orang tuanya untuk merawat, mendidik dan membesarkannya.
Inilah pandangan filosofis yang membedakan antara paham materialisme, sekulerisme dan Islam dalam memandang eksistensi kehadiran seorang anak. Paham-paham lain selain Islam memandang hanya sebatas di dunia ini saja, sedangkan Islam memandang tembus sampai ke kehidupan selanjutnya.
Semua anak lahir dalam keadaan fitrah. Fitrah artinya setiap anak itu lahir sudah punya kecenderungan kepada tauhid (keimanan kepada Allah SWT.,) dan kebaikan. Orang tuanyalah yang menjadikan mereka menyimpang dari fitrah tersebut. Ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW.,
“Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi” (HR. Muslim)
Dari hadits ini kita belajar bahwa orang tualah yang dominan berperan dalam membuat perubahan-perubahan pada anak. Orang tua wajib bertanggung jawab agar anak-anak itu kelak tumbuh sesuai dengan fitrahnya. Sehingga keteladanan yang diberikan orang tua adalah keteladanan yang harus sesuai dengan fitrah anak. Atau dengan kata lain berbasis kepada fitrah anak. Jika ada anak yang tumbuh menyalahi fitrahnya, orang tuanyalah yang bertanggung jawab.
2. Pandangan Visi
Pandangan kedua adalah visi. Jika kita bicara keteladanan berarti kita berbicara tentang kerangka visi. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, paham-paham di luar Islam memandang anak hanya sebatas capaian-capaian material di dunia saja. Misal tadi jika orang tuanya adalah seorang politisi, maka orang tuanya akan memandang visi kedepan untuk anaknya menjadi seorang politisi juga, dst.
Nah bagi orang tua Muslim tentu pandangannya harus lebih dari paham-paham di luar Islam tadi. Orang tua Muslim wajib memiliki visi akhirat untuk anak-anaknya. Apa itu? ada dua hal penting. Pertama, anak-anak wajib dibentuk menjadi orang-orang sholeh(ah). Hal ini harus tertanam bukan hanya pada orang tua tetapi juga harus tertanam kepada anak-anak.
Bahwa anak-anak ini tumbuh dan ada fase-fasenya. Ada satu titik dimana anak tersebut melalui fase membangun dirinya. Nah pada saat itu anak biasanya akan mempertanyakan dirinya. Mau seperti apa dia kedepannya. Sehingga disini pentingnya visi kesholea(ha)n ini ditanamkan sejak awal.
Visi ini jugalah yang selalu diharapkan orang tua dalam doa-doanya. Sebagaimana doa-doa orang tua dalam memohon agar kelak mereka menjadi anak-anak yang sholeh(ah). Sebagaimana doanya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dalam QS. Al-Qashshash: 110 ketika meminta anak.
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ (Rabbi habli minash shalihin)
Karena itu kita berharap jika kelak anak lahir dengan paras yang tampan/cantik maka dengan kesholeha(ha)n itu bisa menjaga paras mereka begitupun sebaliknya. Jika mereka diberi jabatan/kedudukan kita berharap dengan kesholeha(ha)n itu akan membuat mereka amanah dalam mengemban jabatan/kedudukan meraka itu, dst.
Kedua, kita tidak boleh meninggalkan anak-anak kita dalam keadaan lemah. Mayoritas orang berfikiran bahwa arti dalam kondisi lemah ini selalu dihubungkan dengan ekonomi (materi). Tapi sebenarnya jika kita kaji lebih mendalam yang dimaksud dalam kondisi lemah ini bukan saja dalam hal ekonomi.
Yang terpenting adalah jangan sampai kita meninggalkan anak-anak kita dalam kondisi lemah aqidahnya (tauhid). Setelah aqidah (tauhid) kita harus memastikan anak-anak tidak lemah dalam hal ilmunya (tsaqofah), dan setelah itu kita juga harus memastikan anak-anak tidak lemah dari sisi amalnya (ibadah) berikut dalam hal dakwahnya (perjuangannya). Setelah itu baru kita melihat ekonomi juga fisiknya.
3. Pandangan Misi
Pandangan berikutnya adalah keteladanan dari sisi misi. Misi seperti apa yang kita teladankan kepada anak-anak?. Jawabannya adalah misi tentang iman, ilmu dan amal. Trilogi inilah yang menjadi prioritas utama kita sebagai orang tua untuk memberikan contoh teladan secara natural kepada mereka.
Strateginya Seperti Apa?
Pertama, wajib ada kesatuan visi diantara orang tuanya. Ayah dan ibu harus ada kesamaan frekuensi dalam memberikan atau mencontohkan keteladanan. Keduanya wajib memahami visi ini secara bersama.
Kedua, melakukan sinergi komplemeter saling melengkapi satu dengan yang lainnya dalam memberikan teladan.
Ketiga, keteladanan yang diberikan adalah keteladanan yang bertumbuh. Karena anak-anak memiliki fase-fase pertumbuhan (disesuaikan dengan umur anak). Orang tua menempatkan keteladanan sesuai dengan fase tersebut sesi demi sesi.
Keempat, keteladanan yang diberikan adalah keteladanan tiada henti. Tiada akhir sampai anak menikahpun serta punya anak misalnya. Sampai pada masa tua orang tuanya. Keteladanan terus diberikan. Orang tua harus selalu sadar bawah anak-anak selalu meneropong orang tuanya sampai kapanpun itu.
Kelima, keteladanan yang sifatnya in-natural. Keteladanan in-natural adalah keteladanan yang kita berikan karena kita sadar bahwa kita mau diteladani. Olehnya itu pada fase ini orang tua harus dipenuhi kesabaran. Bersabar menjalani prosesnya. Jangan sampai berhenti di tengah jalan.
Keenam, keteladanan dari sisi reputasi. Anak-anak akan selalu melihat reputasi orang tuanya. Dari reputasi ini anak-anak akan belajar. Sehingga penting bagi orang tua untuk memiliki reputasi yang baik agar bisa dicontoh oleh anak-anaknya.
Ketujuh, doa. Doa adalah harapan terakhir. Keteladanan adalah yang sifatnya fisikal dan kita membutuhkan doa yang non fisikal untuk melengkapi ikhtiar kita. [3f]