KETIKA DUNIA DAN AKHIRAT BERTEMPUR DI HATIMU

Ada kalimat tajam dari Ibn al-Qayyim yang memaksa kita untuk berhenti, merenung, dan mengukur kembali arah langkah kita di dunia ini. Ia berkata:
“Jika pasukan dunia dan pasukan akhirat saling bertempur di dalam hatimu, dan engkau ingin tahu di pihak mana engkau berdiri, maka lihatlah ke arah mana hatimu condong dan dengan siapa engkau berperang. Karena tidak mungkin engkau berdiri di tengah-tengah keduanya. Engkau pasti bersama salah satu dari dua pasukan itu, tanpa ragu.”
Kalimat ini bukan sekadar nasihat klasik, tetapi peta kompas untuk kehidupan modern kita yang penuh distraksi, ambisi, dan kegaduhan. Ibn al-Qayyim mengajak kita untuk menanyakan satu hal yang sederhana, namun mendalam: “Di pihak mana aku berdiri?”
Setiap hari, hati kita menjadi medan pertempuran. Bukan antara yang baik dan yang buruk secara samar, tapi antara cinta dunia dan kerinduan pada akhirat. Antara keinginan untuk meraih kesenangan sesaat dan panggilan untuk hidup dalam tujuan abadi. Kadang kita merasa bisa berdiri di tengah: totalitas dalam taat kepada Allah SWT., sambil tetap mengejar gemerlap dunia. Tapi Ibn al-Qayyim menegaskan — itu mustahil. Engkau pasti berada di salah satu pihak.
Mengapa? Karena dunia dan akhirat memiliki arah yang berlawanan. Satu menarikmu ke bawah, satu mengangkatmu ke atas. Satu membentuk keinginanmu untuk memiliki, satu membentuk jiwamu untuk menjadi. Maka ketika keduanya beradu dalam hatimu, jangan pura-pura netral. Lihat ke mana condongnya hatimu — di situlah tempatmu sebenarnya.
Ibn al-Qayyim melanjutkan:
“Barang siapa jatuh cinta pada dunia, maka dunia akan melihat betapa kecil nilainya, lalu menjadikannya sebagai pelayan dan budaknya, serta menghinakannya. Sebaliknya, barang siapa berpaling darinya, maka dunia akan melihat betapa agung derajatnya, lalu tunduk padanya dan melayaninya.”
Ini bukan tentang membenci dunia secara mutlak. Islam tidak mengajarkan untuk meninggalkan dunia, tetapi mengatur letaknya di dalam hati. Dunia adalah kendaraan, bukan tujuan. Ia adalah ladang amal, bukan istana abadi.
Mereka yang menjadikan dunia sebagai tujuan utama, akan terus dikejar-kejar oleh kekosongan: lebih banyak harta, lebih tinggi jabatan, lebih besar rumah, lebih banyak pengikut. Namun yang mereka dapatkan hanyalah penjara dari kecemasan, iri, dan perasaan tak pernah cukup.
Sementara mereka yang menjadikan akhirat sebagai poros hidupnya, justru disusul oleh dunia. Mereka mungkin tetap bekerja, membangun bisnis, atau memimpin organisasi, namun dunia berada di tangan, bukan di hati. Dan dunia, sebagaimana disebut Ibn al-Qayyim, justru akan tunduk dan melayani mereka — bukan menghinakan.
Kita boleh bekerja, membangun mimpi, berbisnis, meniti karier, mengurus keluarga, mengejar target. Islam tidak melarang semua itu. Tapi ketika dunia dan akhirat saling bertabrakan dalam hati — engkau harus tahu di pihak mana engkau berdiri. Jangan biarkan dirimu larut tanpa arah.
Karena siapa yang salah memilih pihak, bisa kehilangan segalanya — di dunia dan di akhirat.
Semoga Allah meneguhkan hati kita untuk memilih jalan-Nya. Semoga kita berada di pihak pasukan akhirat, yang tak gentar melawan tarikan dunia, dan tetap teguh meniti jalan menuju ridha-Nya. []