MENJEJAK MAKAM SANGIA NIBANDERA DI KOLAKA

makam raja mekongga

Pada hari Kamis, 29 Mei 2025 sekitar pukul 15.00 WITA saya bersama 2 orang kawan tiba di kompleks pemakaman Raja Mekongga Sangia Nibandera di Desa Tikonu, Kecamatan Wundulako, Kabupaten Kolaka, Propinsi Sulawesi Tenggara.

Tujuan utama kami sebenarnya bukan ke tempat ini, tapi karena berkebetulan lewat mampirlah kami untuk mengobati rasa penasaran dan keingintahuan.

Sebagaimana yang tertera pada papan informasi sejarah di komplek pemakaman tersebut dijelaskan bahwa, Sangia Nibandera adalah gelar yang diberikan kepada La Duma, nama lain dari Lemelala yang berarti Raja atau ‘Bokeo’ yang dinaungi atau dikibarkan bendera pada saat kematiannya.

Dalam sejarah Mekongga (Melamba : 86), La Duma yang bergelar Sangia Nibandera tercatat sebagai Raja ke-6 dan memerintah dari tahun 1699–1748, Ia adalah putra Teporambe yang bergelar Sangia Niluwo, Raja Mekongga ke-5 (1683–1699).

Raja La Duma atau Bokeo Lemelala merupakan Raja pertama yang memeluk agama Islam di kerajaan Mekongga. Hal ini senada dengan pernyataan La Ode Neha (1978/1979: 54-55) bahwa pada zaman Teporambe, datanglah para mubaligh agama Islam dalam rangka dakwah mengajak Mokole dan rakyat untuk memeluk agama Islam.

Teporambe sendiri belum menerima tetapi menetapkan putranya memeluk agama Islam. Putranya itu bernama La Duma yang bergelar Sangia Nibandera. Kemudian (Tamburaka, 2004 : 501) mengemukakan, pada masa pemerintahan Lemelala barulah agama Islam berkembang pesat di seluruh wilayah kekuasaan Mekongga.

La Duma memeluk agama Islam tidak lepas dari jasa Opu Daeng Masaro (utusan Datu Luwu). Dia menetapkan agama Islam sebagai agama resmi kerajaan dan menyebarkan ajaran Islam ke seluruh pelosok Mekongga termasuk mendatangkan para guru untuk mengajar agama Islam. Para guru tersebut ada diantaranya yang kemudian menikah dengan wanita-wanita asal kerajaan Mekongga.

makam sangia nibandera

Salah satu bukti peninggalan La Duma saat ini yang terkait dengan penyebaran agama Islam adalah adanya peninggalan berupa manuskrip berisi teks khutbah pada zaman tersebut.

Kembali ke kompleks pemakaman, lingkungannya termasuk dalam kategori terawat karena termasuk dalam Cagar Budaya Nasional. Di dalam kompleks pemakaman ini juga terdapat makam dari istri-istri Sangia Nibandera. Makam sang Raja memiliki ukuran lebih besar dari yang lainnya.

Salah satu keunikan dari kompleks pemakaman ini adalah tumbuhnya pohon-pohon besar yang ditaksir berusia 200-400 tahun dan terdapat sebuah Guci milik Sangia Nilulo yang konon berasal dari peninggalan Dinasti Ming. []

Add a Comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *